Our Feeds
zhons

Masjid Kaliwulu Cirebon, Berawal dari Tempat Wudhu Sunan Gunung Jati

Masjid Kaliwulu Cirebon, Berawal dari Tempat Wudhu Sunan Gunung Jati

Masjid Kaliwulu Cirebon
Kota Cirebon sebagai bandar perdagangan sejak berabad-abad yang lalu menyimpan banyak situs purbakala bernuansa Islam. Tak heran Cirebon dikenal sebagai salah satu pusat penyebaran Islam di Jawa Barat selain kota perdagangan.

Situs Islam yang paling terkenal tentunya Keraton Cirebon dan Masjid Agung Sang Cipta Rasa. Namun selain itu, sejumlah situs Islam lainnya juga bertebaran di sana. Salah satunya adalah Mesjid Kaliwulu.

Baru dengar namanya? Memang masjid ini tidak setenar masjid di atas. Tapi dari sisi purbakala, Masjid Kaliwulu punya sejarah yang menarik. Masjid ini terletak di Desa Kaliwulu, Kecamatan Weru, Kabupaten Cirebon*.

. "Masjid Kaliwulu punya legenda yang berkaitan erat dengan Sunan Gunung Jati," kata arkeolog dari Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Serang, Bayu Aryanto.

Legenda itu berawal dari perjalanan Sunan gunung Jati dari Cirebon menuju Galuh. Dalam perjalanan tersebut, Sunan Gunung Jati berhenti untuk shalat di satu tempat. Ia meminta pengiringnya mencari tempat berwudhu. Tidak jauh dari tempat tersebut didapatkan sungai. Inilah asal muasal nama Kaliwulu yaitu berasal dari kata kali yang berarti sungai dan kata wulu yang merupakan perubahan lafal dari wudhu. Dari persinggahan singkat Sunan Gunung Jati itulah kemudian berdiri dan berkembang desa Kaliwulu. Kepala desa pertamanya adalah Ki Gede Kaliwulu yang kini makamnya berada di halaman mesjid. Ki Gede Kaliwulu memiliki nama asli Syeh Syarif Abdurahman. Dia merupakan anak dari Pangeran Panjunan yang juga masih keturunan Sunan Gunung Jati. Dengan adanya Desa Kaliwulu, maka didirikan pula sebuah mesjid. Masih menurut legendanya, Masjid Kaliwulu pada awalnya didirikan di Silintang, tetapi kemudian berpindah secara gaib ke tempatnya saat ini. "Kapan Mesjid Kaliwulu berdiri tidak dapat diketahui dengan pasti," kata Bayu. Untuk menentukan waktu pembangunan masjid, arkeolog menganalisis inskripsi di bagian atas pintu masuk ruang utama masjid. Tulisan di situ hanya menyebutkan perbaikan yang pernah dilakukan di Masjid Kaliwulu yang bunyinya adalah sebagai berikut:

Pinata ing pintu andangdani ing masjid akhir wayah dina rabo wulan rajab tanggal rong puluh ing tahun alif hijrah nabi sewu rong atus pitulikur

Menurut Bayu, bila diterjemahkan kurang lebih berbunyi: Ditatah di pintu mesjid yang berakhir diperbaiki pada hari rabu bulan rajab tanggal dua puluh tahun alif seribu dua ratus dua puluh tujuh hijrah nabi.

Perhitungan terhadap tahun 1227 H bersamaan dengan tahun Masehi yang jatuh ± pada tahun 1826 M. Melihat pada bunyi inskripsinya, mesjid ini sudah berdiri lebih tua dari pada tahun yang disebut pada inskripsinya.

Mesjid Kaliwulu bercirikan masjid tradisional di Jawa. Maksudnya, masjid ini berdenah bujur sangkar, beratap tumpang satu, dan punya empat tiang utama, serta ada hiasan di puncak atapnya (memolo) serta adanya makam dari tokoh setempat yang dimakamkan di halaman mesjid.

Untuk masuk ke halaman mesjid terdapat pintu di sisi barat dan timur dengan bentuk gapura paduraksa dan terbuat dari kayu. Setelah melewati pintu ini akan didapatkan halaman pertama sisi utara dengan sebuah pendopo baru untuk istirahat dan shalat jum'at.

Ciri ke kunaan masih tersisa di bagian ruang utama mesjid dengan terdapatnya pintu berbentuk paduraksa untuk masuk ke dalam ruang utama. Pada dinding sisi luar dari kedua pintu tersebut banyak dihiasi dengan piring-piring keramik beragam motif dan ukuran yang direkatkan pada dinding sejumlah 97.

Pintu masjid dibuat rendah, sehingga untuk masuk harus menunduk atau membungkukkan badan. "Ini mengandung filosofi bahwa untuk masuk ke tempat suci seseorang harus merendahkan dirinya sebagai penghormatan pada Allah SWT," kata Bayu. Pada bagian atas sisi luar pintu masuk ini terdapat iskripsi beraksara arab.

Dengan bukti-bukti yang ada, baik berupa inskripi maupun konstruksi dan sedikit tata ruang yang masih dipertahankan, Mesjid kaliwulu telah ditetapkan sebagai bangunan Cagar Budaya. Saat ini pelestariannya diawasi oleh Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Serang

Subscribe to this Blog via Email :
Previous
Next Post »