Minggu pagi (20/10/2019),
mereka mengular di pinggiran jalan sejak pukul 06.00 WIB untuk menyaksikan ider-ideran karnaval “Memayu Buyut Trusmi”.
Diiringi suara gamelan, beberapa pria berpakaian putih-putih serupa begawan menyeruak dari tengah kerumunan, mereka para kemit(petugas jaga makam keramat) yang bertugas mengirab 14 tombak pusaka warisan Ki Buyut Trusmi.
Di belakangnya, berbaris rombongan lelaki berseragam merah muda, memakai iket “mega mendung”, membawa welit alias atap rumbia.
Rombongan pengirab 14 tombak pusaka warisan Ki Buyut Trusmi, Cirebon.
Berurutan di belakang pembawa welit, muncul rombongan peserta karnaval dari seluruh kukuban Cirebon lengkap dengan atraksi seni mereka. Mulai dari kelompok tari, street art costum, patung karakter berukuran raksasa, beragam hasil bumi dan makanan, iring- iringan kelompok berkuda, hingga kereta kencana.
Ider-ideran atau arak-arakan ini dihelat dari kompleks Makam Buyut Trusmi hingga Ke arah Panembahan
“Acara ini digelar setiap tahun menjelang musim hujan,” menurut masyarakat
sebagai wujud syukur kepada Yang Maha Kuasa,
Terlepas dari pro-kontra yang belakangan muncul dalam memaknai ritus “memayu”, upacara ini nyatanya masih terus diuri-uri oleh masyarakat Cirebon.
Istilah “memayu” sendiri berasal dari kata “hayu” yang berarti cantik, indah atau selamat. Kata memayu mendapat awalan “ma” menjadi “mamayu” yang berarti mempercantik, memperindah atau meningkatkan keselamatan. Namun setelah sering-sering diucapkan, kata mamayu menjadi popular disebut memayu .
Menurut Casta dan Taruna dalam Batik Cirebon, memayu dalam bahasa kawi berarti mbagusi, memperbaiki atau membuat bagus.
Sedangkan khusus dalam konteks upacara memayu dan ider-ideran Trusmi, kata memayu mengandung dua pengertian. Pertama, memayu dimaksudkan untuk memperbaiki atap-atap masjid Trusmi yang sudah lama dan menggantikannya dengan yang baru. Kedua, memayu berarti mbagusi (memperbaiki) diri manusia dari sifat-sifat lama yang jelek dengan sifat-sifat
Pada mulanya tujuan utama dari upacara memayu diyakini sebagai penyebaran agama Islam. Rangkaian kegiatannya antara lain: ganti welit (mengganti atap rumbia) dan buka sirap (mengganti atap situs Buyut Trusmi dengan kayu jati), mengganti atap masjid, sehari setelah acara kirab budaya, dan tahlilan pada malam harinya.
Buka sirap dan ganti welit harus dilakukan pada hari Senin, berkaitan dengan hari lahir Nabi Muhammad SAW.
Disamping itu, spiritualitas yang diajarkan Ki Buyut Trusmi sebagai ulama yang memimpin masyarakat Trusmi terkandung dalam setiap pertunjukan yang digelar saat memayu. Salah satunya ialah pentas brai, yaitu seni tradisi yang memiliki nilai religiusitas tinggi.
Mengutip tulisan Dede Wahidin, “Potensi Kesenian Daerah Cirebon”, istilah brai sendiri berasal dari kata “brahi” yang berarti menyatu atau kasmaran atau jatuh cinta.
Dalam konteks ini maksud dari pada brai ialah penyatuan diri seorang hamba sebagai wujud kecintaaanya kepada Sang Khaliq yang mereka ungkapkan melalui media seni. Selain itu makna-makna yang tersirat dalam upacara-upacara tersebut mengandung nilai-nilai luhur dan norma-norma syari’at Islam