Ki Gede Lamah Abang dari Indramayu yang terkenal dengan kesaktiannya, sedang memanggul pohon jati yang sangat besar dari daerah Gunung Galunggung untuk membantu pendirian masjid di Cirebon. Di tengah perjalanan ia dihadang seekor macan putih yang langsung menyerangnya untuk merebut pohon jati dari panggulannya.Melihat seekor macan putih yang ingin merebut pohon jati dari panggulannya, Ki Gede Lemahabang tidak tinggal diam. Dengan sekuat tenaga ia mempertahankan jati yang dipanggulnya itu jangan sampai berpindah tangan. Terjadilah perebutan pohon jati antara Ki Gede Lemahabang dengan seekor macan putih yang sebenarnya adalah jelmaan Ki Kuwu Cerbon. Tujuan Ki Kuwu menghadang perjalanan Ki Gede Lemahabang, agar pohon jati tersebut jangan terlalu cepat sampai ke Cirebon. Jika hal itu terjadi, maka ilmu kewalian harus diajarkan kepada para santri yang belum memenuhi syarat untuk menerima ilmu tersebut. Perebutan pohon jati itu membuat suasana di tempat itu sangat mengerikan. Kedua makhluk itu saling mengeluarkan ilmu kesaktian, sehingga menimbulkan prahara dan di sekelilingnya banyak pohon yang tumbang. Pepohonan yang tumbang itu seperti terbabak benda tajam. Daerah tempat terjadinya peristiwa itu kemudian dijadikan nama sebuah pedukuhan Babakan. Waktu terus berlalu, rupanya kesaktian Ki Gede Lemahabang berada di bawah kesaktian Ki Kuwu Cerbon yang berwujud macan putih. Dia tidak sanggup lagi mempertahankan apa yang di panggulnya. Pohon jati itu hilang dalam panggulannya, bersamaan dengan hilangnya macan putih yang menghalang-halangi perjalanannya. Kini pedukuhan Babakan telah berubah menjadi Desa Babakan dalam wilayah Kecamatan Ciwaringin. Desa Babakan terletak di ujung sebelah barat, merupakan daerah perbatasan Kabupaten Cirebon dengan Kabupaten Majalengka. Menginjak tahun 1705, seorang pengembara yang selalu menyebarkan agama Islam bernama Syekh Hasanudin bin Abdul Latif berasal dari Kajen Kecamatan Plumbon Kabupaten Cirebon datang di pedukuhan Babakan. Di Pedukuhan Babakan Syekh Hasanudin membangun sebuah mushala kecil. Di depan mushalahnya ada dua pohon jati yang sangat besar. Untuk kehidupan sehari-harinya Syekh Hasanudin bertanam palawija di sekitar tempat itu. Dalam menyiarkan agama Islam, Syekh Hasanudin banyak mendapat rintangan, ejekan, cercaan, dan tantangan dari beberapa daerah di sekitarnya seperti dari Desa Budur, Pedukuhan Jati Gentong, Pedukuhan Tangkil yang ada di bawah kekuasaan Ki Gede Brajanata yang tidak mau masuk Islam. Tantangan tersebut bahkan datang dari Pedukuhan Babakan itu sendiri, namun semua rintangan itu tidak menyurutkan tekad Syekh Hasanudin menyebarkan agama Islam. Pada usianya yang telah tua, Ki Gede Brajanata meninggal dunia. Sepeninggal Ki Gede Brajanata, penyebaran agama Islam yang dilakukan Syekh Hasanudin mengalami kemajuan. Telah banyak masyarakat yang mau memeluk agama Islam dan memperdalam ilmu syariat Islam. Walau masih banyak pengikut-pengikut Ki Gede Brajanata yang terus menentangnya tidak menjadi pengahalang yang berarti bagi Syekh Hasanudin untuknterus berjuang. Mushala yang kecil itu sudah tidak bisa lagi menampung orang-orang yang ingin belajar ilmu. Para santri bersepakat untuk membangun lagi mushala yang lebih besar. Pada saat membangun mushala itulah para santri memberi julukan kepada Syekh Hasanudin sebagai gurunya dengan panggilan Ki Jatira, karena kebiasaan gurunya itu beristirahat di depan mushala di bawah dua pohon jati yang besar. Jati = pohon jati, dan ra = loro (dua). Nama Ki Jatira menjadi terkenal sampai ke pusat ajaran Islam yang ada di Amparanjati, Gunung Sembung. Begitu pula nama Ki Jatira yang mengajarkan ilmu agama Islam dan ilmu kanuragan terdengar oleh pihak Belanda, yang dianggapanya akan membahayakan kekuasaanya di Cirebon. Pada tahun 1718, serdadu belanda datang dan menyerang padepokan Ki Jatira di Pedukuhan Babakan. Serangan itu mendapat perlawanan yang sengit dari para santri. Karena peperangan itu tidak seimbang, akhirnya para santri dapat dikalahkan dan padepokan Ki Jatira dihancurkan dibakar habis. Peristiwa itu dikenal dengan nama Perang Ki Jatira, yang banyak mengorbankan para santri, tewas sebagai syuhada. Ki Jatira sendiri dapat diselamatkan oleh muridnya dan dibawa ke Desa Kajen. Pada tahun 1721, Ki Jatira datang lagi ke pedukuhan Babakan untuk meneruskan syiar Islamnya. Kedatangannya itu disambut gembira oleh masyarakat, kemudian tahun 1722 Ki Jatira bersama-sama masyarakat membangun kembali padepokan yang telah hancur itu. Tempatnya dipindahkan ± 400 m ke sebelah selatan dari padepokan yang lama. Ketenaran dan keharuman nama Ki Jatira yang mengajarkan ilmu agama Islam dan ilmu kanuragan, tercium lagi oleh Belanda. Pada tahun 1751 serdadu Belanda kembali menyerang padepokan Ki Jatira. Akan tetapi sebelumnya, rencana Belanda tersebut sudah di ketahui oleh Ki Jatira. Sehingga sebelum penjajah itu datang untuk menyerang padepokan, terlebih dahulu Ki Jatira membubarkan para santrinya dan Ki Jatira sendiri mengungsi ke Desa Kajen, menunggu situasi aman. Setibanya para serdadu Belanda di padepokan Ki Jatira telah kosong tidak ada penghuninya. Untuk kedua kalinya padepokan Ki Jatira dibakar oleh serdadu Belanda. Dalam pengungsiannya, Ki Jatira terserang penyakit pada usianya yang telah uzur. Pada waktu sakit, beliau berpesan kepada keponakannya yang sekaligus menantunya bernama Nawawi untuk datang ke Pedukuhan Babakan meneruskan perjuangannya. Pada tahun 1753 Ki Jatira wafat dan dimakamkan di Desa kelahirannya sendiri yaitu Desa Kajen Kecamatan Plumbon. Tahun 1756, Ki Nawawi membangun sebuah mushala panggung yang sangat besar, bentuknya menyerupai masjid. Jaraknya ± 300 m ke arah selatan dari padepokan Ki Jatira yang kedua. Tahun 1810, pada periode cucu Ki Nawawi bernama Ki Ismail, para santri mulai membangun tempatnya masing-masing yang dikenal dengan nama Pondokgede. Ki Ismail wafat tahun 1916, pengasuh Pondokgede diteruskan oleh keponakannya yang juga menantunya bernama Kiai Muhamad Amin bin Irsyad, yang dikenal dengan sebutan Ki Amin Sepuh berasal dari Desa Mijahan Kecamatan Plumbon. Pada masa itu Pondokgede mencapai masa keemasan. Mushala yang dibangun Ki Nawawi pada tahun 1769 resmi dijadikan masjid. Pondokgede akhirnya dikenal dengan nama Pondok Pesantren Raudlatultholibin. Tahun 1952, pada masa agresi Belanda ke-2, Pondokgede saat diasuh Ki Amin Sepuh diserang kembali oleh Belanda. Kitab suci dan kitab-kitab lain diobrak-abrik serta dibakar. Para santri bersama Ki Amin Sepuh dan seluruh keluarganya mengungsi. Dua tahun kemudian yaitu tahun 1954, Kiai Sanusi salah seorang santri Ki Amin Sepuh datang ke Pondokgede dan menata kembali bangunan dan sisa-sisa kitab yang dibakar, sehingga bangunan dan halaman Nampak rapih kembali, tahun 1955 Ki Amin Sepuh datang kembali ke Pondokgede diikuti oleh para santrinya untuk melanjutkan pembelajaran agama Islam, sampai wafatnya pada tahun 1972. Setelah wafatnya Ki Sanusi pada tahun 1986, pengasuh pondok dilanjutkan oleh Ki H. Fuad Amin sampai tahun 1997. Dilanjutkan oleh K.H. Abdullah Amin sampai tahun 1999. Ki Bisri Amin mengasuh pondok hanya setahun yaitu dari tahun 1999 – 2000. Kini Pondok Pesantren di asuh oleh K.H. Azhari Amin dan K.H. Zuhri Affif Amin, keduanya adalah putra K.H. Amin Sepuh. Beliau berdua bekerja keras untuk meningkatkan pendidikan agama Islam, juga pendidikan umum lainnya diterapkan kepada para santrinya untuk bekal hidupnya di dunia dan akhirat. Semula Babakan hanya daerah pedukuhan yang merupakan cantilan dari Desa Budur. Atas kehendak masyarakat, pada tahun 1773 memisahkan diri dari Desa Budur menjadi desa yang mandiri, yaitu Desa Babakan. Kuwu yang pertama adalah Surmi dari tahun 1798 – 1830.